Pernahkah pembaca budiman merasakan impitan tugas dan kewajiban kerja yang datang silih berganti tak kenal henti? Bahkan, beberapa di antaranya sampai ada yang melewati batas waktu atau deadline dan harus molor diselesaikan. Saya yakin di atas 51% menjawab pernah.
Itulah realitas kehidupan manusia, terutama manusia modern yang mengalami tuntutan beban kerja yang makin banyak, bahkan sampai di luar batas nalar manusia. Akibatnya, banyak orang yang tidak bisa menikmati hidup. Akibat terlalu sibuk bekerja demi meraih segepok rupiah, sampai tidak sempat meluangkan waktu untuk menikmati hasil jerih payah kerja bersama keluarga tercinta.
Saya teringat petuah pendiri Ikhwanul Muslimin, Imam Hasan al-Bana. Beliau pernah berujar, "al-Waajibaat aktsaru min al-auqaat." Kewajiban, tugas, dan tanggung jawab manusia itu lebih menumpuk daripada ketersediaan waktu untuk menyelesaikannya. Saking banyaknya beban kerja yang harus diselesaikan, sampai ada orang yang mesti bela-belain lembur atau memboyong tumpukan pekerjaan ke rumah untuk diselesaikan. Padahal, di rumah sudah menunggu si kecil dengan senyum riang yang mengajak bermain. Kalau sudah seperti itu, kapan kita punya waktu untuk keluarga, untuk anak dan istri atau suami.

Pertanyaannya, apakah semua orang mengalami hal seperti itu? Tidak mesti. Banyak juga orang dengan setumpuk tanggung jawab, tapi mampu menunaikannya dengan baik tanpa mengesampingkan waktu berharga bersama keluarga.
Contohnya Presiden SBY. Di tengah kesibukan memimpin negara, beliau masih sempat menelurkan empat album lagu dan satu buku otobiografi setebal lebih dari 1.000 halaman.
Atau, Presiden RI Ke-3, B.J. Habibie. Di bawah deraan tugas negara yang tak henti, beliau masih bisa menyambi sebagai komisaris dan pimpinan dari kurang lebih 24 perusahaan. Beliau juga dengan apik merekam segala aktifitasnya sebagai kepala negara dalam sebuah catatan harian yang akhirnya diterbitkan menjadi buku.
Kenapa Presiden SBY dan B.J. Habibie mampu menaklukkan terjangan beban kerja yang begitu menumpuk, sementara kita kelimpungan? Di luar faktor asisten dan staf ahli, sebenarnya kemampuan beliau berdua terletak pada kemahiran manajemen waktu. Ya, mengelola waktu. Dengan manajemen waktu yang terencana, sebanyak apapun tugas yang mesti diselesaikan, semuanya akan tergarap dengan tuntas.
Bagaimana dengan kita? Sisi negatif kebanyakan manusia adalah suka menunda-nunda. Padahal, dengan kebiasaan menunda-nunda pekerjaan, sejatinya kita sedang mempersiapkan sebuah lubang tempat terperosoknya kita dalam deadline yang bertumpuk-tumpuk. Saya ingin mengakhiri catatan ini dengan perkataan Imam Ali k.w. yang menyatakan bahwa waktu itu seperti pedang. Barangsiapa yang tidak hati-hati, maka lehernya akan terpenggal. [ ]
Sendangtirto Jogja, 15 Maret 2014, 14:53
Tidak ada komentar:
Posting Komentar