Rabu, 01 Oktober 2014

Sepak Bola dan Pembentukan Karakter

Oleh Aat Hidayat

Catatan ini saya tulis sambil menikmati pertandingan seru antara Belanda dan Meksiko. Tiba-tiba saya teringat dua hal. Pertama, kesuksesan Kosta Rika melewati fase grup dan akhirnya lolos ke babak 16 besar Piala Dunia 2014. Kedua, materi kultum tarawih tadi tentang pentingnya disiplin dan target.

Pertanyaannya, apakah kedua hal tadi saling berkaitan? Tentu saja berkaitan. Hal yang pertama adalah hasil, dan hal yang kedua adalah kuncinya.





Saya terperangah menyaksikan Kosta Rika, negara lemah dan tidak diperhitungkan dalam bidang sepak bola, kok bisa-bisanya lolos ke babak 16 besar. Yang lebih mencengangkan, mereka menjadi pemuncak Grup D, yang notabene sebagai grup neraka. Mereka berhasil menghempaskan jawara-jawara sepak bola semacam Uruguay, Italia, dan Inggris. Bahkan, di fase grup, Kosta Rika mampu melumat Uruguay 3-1, menghempaskan Italia 1-0, dan membuat malu Inggris 0-0. Luar biasa! Bagiku, inilah kejutan Piala Dunia edisi Brazil.

Lantas, apa kunci keberhasilan Kosta Rika melewati fase-fase kritis di Grup D? Jawabannya adalah kedisiplinan dan target. Saya kira mereka datang ke Brazil membawa target serius. Target inilah yang mengikat dan mencambuk mereka untuk selalu berdisiplin, berusaha keras dan cerdas, gigih, serta pantang menyerah dalam menjalani setiap laga. Dan terbukti, hasilnya sungguh sangat memuaskan.

Inilah saya kira karakter-karakter positif yang harus dimiliki oleh para pejuang prestasi. Sayang sekali nilai-nilai tersebut hanya menjadi bahan hafalan di ruang-ruang kelas pendidikan kita. Para siswa hanya dicekoki jargon-jargon idealis, tanpa tahu bagaimana cara mengaplikasikannya dalam kehidupan.

Di akhir catatan ini saya ingin mengulas kebijakan Bung Karno di bidang character building. Ternyata, Bung Karno menempuhnya lewat jalur olahraga. Lihatlah karya agung beliau di bidang ini! Gelora Utama Bung Karno, sebuah stadion olahraga fenomenal di zamannya. Selain itu, ada juga PON, sebuah pesta olahraga nasional yang cukup prestisius. Inilah satu pesan khusus dari beliau, yang coba saya tangkap dan saya tafsirkan, bahwa pembangunan karakter yang paling efektif adalah lewat jalur olahraga. Sebab, di sanalah nilai-nilai sportifitas, semangat, disiplin, pantang menyerah, dan sebagainya dibangun. [ ]

Kadipolo Jogja; Ahad, 29 Juni 2014, 23:50

Terpenggal Pedang Waktu

Oleh Aat Hidayat

Pernahkah pembaca budiman merasakan impitan tugas dan kewajiban kerja yang datang silih berganti tak kenal henti? Bahkan, beberapa di antaranya sampai ada yang melewati batas waktu atau deadline dan harus molor diselesaikan. Saya yakin di atas 51% menjawab pernah.

Itulah realitas kehidupan manusia, terutama manusia modern yang mengalami tuntutan beban kerja yang makin banyak, bahkan sampai di luar batas nalar manusia. Akibatnya, banyak orang yang tidak bisa menikmati hidup. Akibat terlalu sibuk bekerja demi meraih segepok rupiah, sampai tidak sempat meluangkan waktu untuk menikmati hasil jerih payah kerja bersama keluarga tercinta.

Saya teringat petuah pendiri Ikhwanul Muslimin, Imam Hasan al-Bana. Beliau pernah berujar, "al-Waajibaat aktsaru min al-auqaat." Kewajiban, tugas, dan tanggung jawab manusia itu lebih menumpuk daripada ketersediaan waktu untuk menyelesaikannya. Saking banyaknya beban kerja yang harus diselesaikan, sampai ada orang yang mesti bela-belain lembur atau memboyong tumpukan pekerjaan ke rumah untuk diselesaikan. Padahal, di rumah sudah menunggu si kecil dengan senyum riang yang mengajak bermain. Kalau sudah seperti itu, kapan kita punya waktu untuk keluarga, untuk anak dan istri atau suami.


 


Pertanyaannya, apakah semua orang mengalami hal seperti itu? Tidak mesti. Banyak juga orang dengan setumpuk tanggung jawab, tapi mampu menunaikannya dengan baik tanpa mengesampingkan waktu berharga bersama keluarga.

Contohnya Presiden SBY. Di tengah kesibukan memimpin negara, beliau masih sempat menelurkan empat album lagu dan satu buku otobiografi setebal lebih dari 1.000 halaman.

Atau, Presiden RI Ke-3, B.J. Habibie. Di bawah deraan tugas negara yang tak henti, beliau masih bisa menyambi sebagai komisaris dan pimpinan dari kurang lebih 24 perusahaan. Beliau juga dengan apik merekam segala aktifitasnya sebagai kepala negara dalam sebuah catatan harian yang akhirnya diterbitkan menjadi buku.

Kenapa Presiden SBY dan B.J. Habibie mampu menaklukkan terjangan beban kerja yang begitu menumpuk, sementara kita kelimpungan? Di luar faktor asisten dan staf ahli, sebenarnya kemampuan beliau berdua terletak pada kemahiran manajemen waktu. Ya, mengelola waktu. Dengan manajemen waktu yang terencana, sebanyak apapun tugas yang mesti diselesaikan, semuanya akan tergarap dengan tuntas.

Bagaimana dengan kita? Sisi negatif kebanyakan manusia adalah suka menunda-nunda. Padahal, dengan kebiasaan menunda-nunda pekerjaan, sejatinya kita sedang mempersiapkan sebuah lubang tempat terperosoknya kita dalam deadline yang bertumpuk-tumpuk. Saya ingin mengakhiri catatan ini dengan perkataan Imam Ali k.w. yang menyatakan bahwa waktu itu seperti pedang. Barangsiapa yang tidak hati-hati, maka lehernya akan terpenggal. [ ]


Sendangtirto Jogja, 15 Maret 2014, 14:53

Orang yang Tidak Punya, Tidak Bisa Memberi

Oleh Aat Hidayat

Judul di atas terinspirasi dan merupakan terjemah bebas dari satu pepatah atau peribahasa Arab, "Faaqidusy-syai' laa yu'thi." Bagi pembaca budiman yang mendalami dan menguasai mahfuzhat atau peribahasa Arab, mohon koreksinya jika saya keliru. Pepatah Arab ini pertama kali saya dengar waktu masih kuliah di IAIN Sunan Kalijaga Jogja (sekarang UIN), dari Prof. Dr. Muhammad Chirzin, M.Ag.

Selengkapnya peribahasa tersebut mengandung makna bahwa orang yang tidak memiliki sesuatu, pasti tidak dapat memberi. Apa yang akan diberikan, padahal ia tidak memiliki apa-apa. Pertanyaannya, apa yang akan kita berikan kepada orang lain? Harta, tenaga, waktu, ilmu, atau apa?










 






Bagi orang kaya yang memiliki banyak harta, tentu ia bisa memberikan atau menyedekahkan sebagian hartanya kepada orang yang membutuhkan. Apakah sedekahnya bermanfaat? Pasti! Banyak firman Allah swt. dan sabda Nabi saw. menjelaskan tentang hal ini. Bahkan, Imam Ali k.w. menegaskan bahwa harta kita yang akan kekal itu bukan yang ada di tabungan, deposito, atau saham. Tetapi, harta yang akan kekal dan menjadi bekal kita kelak di akhirat adalah harta yang kita sedekahkan.

Sementara itu, orang yang berilmu atau ilmuwan bisa berbagi ilmu kepada orang yang memerlukan pencerahan. Jangan tanya apa manfaatnya berbagi ilmu. Sangat banyak! Membagikan ilmu kepada orang lain itu tidak menjadikan ilmu yang kita miliki berkurang. Justru dengan berbagi ilmu, ilmu yang ada dalam otak kita akan makin berkembang.

Inti catatan yang saya tulis ini sebenarnya terletak pada keutamaan berbagi ilmu. Saya ingin mencontoh tradisi baik (katakanlah bid'ah hasanah) yang dilakukan oleh Dr. Ngainun Na'im, M.Ag., dosen STAIN Tulungagung, yang aktif dan terus menulis tiap hari, berbagi ilmu tiap hari. Dengan melakukan kebiasaan ini, kita akan memetik dua manfaat. Pertama, dengan membiasakan menulis dan berbagi ilmu tiap hari, kita akan terlecut untuk aktif melakukan kegiatan membaca tiap saat. Kembali kepada judul catatan ini, bagaimana mungkin kita bisa aktif berbagi ilmu tiap hari, jika ilmu yang kita miliki dangkal, cetek. Kedua, dengan berbagi ilmu dan menulis tiap hari, ilmu kita akan makin berkembang. Selain itu, kemampuan menulis kita pun akan makin terasah. Dan, yang pasti, kita akan sehat lahir-batin, jasmani-rohani.

Bismillah! Mari mentradisikan kegiatan menulis tiap hari, yang ditopang oleh kegiatan membaca tiap saat. Semoga bermanfaat dan akan segera terbentuk peradaban ilmu di negeri ini. [ ]


Sendangtirto Jogja, 13 Maret 2014, 21:25