Senin, 12 Juni 2017

Nuzulul Qur’an dan Spirit Intelektualisme

Oleh Aat Hidayat

Seribu empat ratus lima puluh dua (1452) tahun yang lalu, dalam penanggalan Hijriyah, Al-Qur’an diturunkan oleh Allah swt. lewat Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw. Al-Qur’an turun bertepatan dengan malam Senin tanggal 19 Ramadan tahun 14 sebelum Hijriyah, atau malam Senin tanggal 25 Agustus tahun 609 Masehi. Dengan demikian, dalam penanggalan Masehi atau Miladiyah, peristiwa Nuzulul Qur’an atau diturunkannya Al-Qur’an ke atas persada ini berlangsung seribu empat ratus delapan (1408) tahun yang lalu. Inilah konklusi dari perdebatan mengenai titi mangsa turunnya Al-Qur’an berdasarkan analisis tekstual berdasarkan hadis Nabi, analisis historis, dan analisis astronomis.

Peristiwa agung yang akhirnya mewarnai perubahan peradaban dunia ini terjadi di pelosok dan pinggiran Jazirah Arab, yakni di Gua Hira. Dalam beberapa teks hadis diceritakan bahwa pada malam-malam Ramadan, Rasulullah saw. bertahanus di Gua Hira. Pada saat itulah, Rasulullah saw. didatangi Malaikat Jibril yang menampakkan wujudnya dalam bentuk seorang laki-laki. Lalu Malaikat Jibril mendekap Rasulullah saw. sambil berkata, “Iqra’, bacalah!” Rasulullah saw. menjawab, “Saya tidak mampu membaca.” Perintah ini diulanginya sampai tiga kali. Dan, lagi-lagi Rasulullah saw. menanggapinya dengan jawaban yang sama. Sampai akhirnya Malaikat Jibril menyampaikan wahyu Q.S. al-‘Alaq [96]: 1-5.

Ada keterkaitan antara perintah Malaikat Jibril kepada Rasulullah saw. dengan konten wahyu pertama yang disampaikan oleh Allah swt. lewat Malaikat Jibril kepada Rasulullah saw., yakni membaca. Mari kita perhatikan secara saksama teks lengkap wahyu pertama Q.S. al-‘Alaq [96]: 1-5: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan, Dia telah Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang Mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia Mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” 

Menurut pakar tafsir Indonesia, M. Quraish Shihab, dalam buku Membumikan Al-Qur’an, kata iqra’ dalam penggalan wahyu pertama, yang berarti “membaca”, berasal dari akar kata qara’a yang pada asalnya berarti “menghimpun”. Secara tata bahasa, teks wahyu pertama, yaitu perintah membaca, tidak diikuti dengan mashdar atau objek apa yang harus dibaca. Artinya, jika suatu kata dalam suatu susunan redaksi tidak disebutkan objeknya, maka objek yang dimaksud bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut. Dari dua fakta ini dapat disimpulkan bahwa makna kata iqra’ dalam wahyu pertama ini tidak sempit hanya “membaca” saja, melainkan sangat luas, yakni mencakup “menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri, dan sebagainya”. 

Dari penjelasan di atas dapat dirumuskan satu pelajaran moral penting, dalam istilah Fazlur Rahman disebut ideal moral, bahwa peristiwa Nuzulul Qur’an, yakni peristiwa turunnya wahyu Al-Qur’an untuk pertama kali kepada Nabi Muhammad saw., mengandung pesan penting bagi peradaban Islam dan peradaban dunia secara lebih luas, yakni intelektualisme. Pesan ini bisa kita gali dari makna kata iqra’ yang tidak ber-mashdar atau tidak memiliki objek. Dalam arti, semangat agama Islam adalah semangat intelektual, yaitu aktivitas seputar membaca, menelaah, meneliti, dan mengambangkan segala potensi yang dimiliki oleh manusia, yaitu hati, akal, dan nafsu, dalam rangka menjalankan tugas sebagai khalifah untuk memakmurkan bumi. Semangat intelektualisme inilah yang menandai dan mengawali perubahan mendasar peradaban Arab yang jahiliyah menjadi peradaban Arab yang intelektualis sehingga menginspirasi dan membantu perubahan peradaban dunia secara lebih luas.

Di tengah kehidupan bangsa Indonesia yang masih jauh dari semangat intelektualisme, hal ini ditandai oleh masih rendahnya tingkat literasi bangsa Indonesia, apalagi digempur dengan berbagai macam isu di sosial media yang dangkal dan liar, semangat Nuzulul Qur’an dengan spirit intelektualisme harus kita tularkan kepada setiap manusia Indonesia. Spirit intelektualisme tidak hanya berkaitan dengan kegiatan intelektual yang berbasis pada akal. Sebagaimana  tersirat dalam wahyu pertama Q.S. al-‘Alaq [96]: 1, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan”, spirit intelektualisme ini juga berkaitan dengan kegiatan spiritual yang berkaitan dengan hati. Dengan Nuzulul Qur’an dan spirit intelektualisme ini, didukung spirit spiritualisme, diharapkan bangsa Indonesia semakin maju dalam berbudaya dan peradaban, sehingga bangsa dan negara Indonesia akan mampu mengejar bahkan melampaui bangsa-bangsa lain yang sudah maju. [ ] 

Kampus Hijau Ngembalrejo, Kudus; Selasa, 13 Juni 2017, 08.45

Artikel ini juga dimuat di website: http://tassamuh.com/2017/06/13/nuzulul-quran-dan-spirit-intelektualisme/

2 komentar: